Oleh: Benny Sanjaya
Samber Park, jantung ruang publik Kota Metro yang selama ini hidup dengan denyut kegiatan warga—dari taman bermain, pertunjukan seni, festival komunitas, hingga ajang ekspresi kreatif anak muda—tiba-tiba berubah senyap. Sepi. Tak lagi seramai dulu. Apa yang sedang terjadi?
Rumor berkembang, Pemkot Metro tengah menyiapkan skenario “penataan ulang” kawasan ini. Tapi ironisnya, alih-alih menata agar lebih hidup, justru yang terjadi adalah penghapusan tradisi. Festival tahunan menghilang, acara komunitas tak lagi diberi ruang, dan Samber Park menjadi sekadar taman yang sunyi tanpa makna.
Atas nama peningkatan fungsi ruang publik, Pemkot di bawah kepemimpinan Wali Kota Bambang Iman Santoso dinilai mengambil kebijakan sepihak—tanpa dialog, tanpa mendengar suara komunitas yang selama ini menghidupi ruang tersebut. Apa yang dimaksud dengan peningkatan fungsi? Apakah sepi adalah bentuk baru dari kemajuan?
Penulis, sebagai bagian dari komunitas pemuda yang pernah aktif mengadakan berbagai kegiatan di sana, telah mencoba mengajukan izin secara resmi. Namun, dinas terkait menyatakan tak bisa memproses tanpa “lampu hijau” dari orang nomor satu di Kota Metro. Konon, pernah ada Kepala OPD yang dimarahi karena memberi izin acara tanpa izin langsung dari Wali Kota. Ya, Anda tidak salah baca. Untuk sekadar izin pentas komunitas di taman kota, harus lewat Wali Kota.
Pertanyaannya: apakah Wali Kota tidak punya agenda yang lebih strategis daripada mengurus panggung kecil di taman publik? Apa urgensinya sampai izin semacam ini harus dikendalikan langsung dari kursi tertinggi? Apakah ini bentuk efisiensi birokrasi—atau justru pengendalian berlebihan?
Sementara itu, berbagai persoalan besar menumpuk: jalan rusak, air bersih bermasalah, banjir rutin saat hujan lebat, layanan kesehatan belum optimal, hingga isu miras dan prostitusi online yang meresahkan warga. Tapi entah mengapa, yang justru menjadi prioritas tampaknya adalah Samber Park—tepatnya, bagaimana caranya agar tak ada satu pun kegiatan rakyat yang boleh berlangsung di sana tanpa izin eksklusif.
Kabarnya, semua aktivitas akan dipindahkan ke RTH Mulyojati. Tapi, kenapa? Apa urgensinya? Apakah RTH itu lebih strategis, atau sekadar lokasi baru agar suasana Samber Park tetap steril dari keramaian rakyat?
Kesan yang muncul bukanlah penataan, melainkan pengosongan makna. Ruang publik bukan lagi milik publik, tapi seperti dijaga ketat dari segala bentuk keramaian. Jika benar, maka ini bukan sekadar perubahan kebijakan—ini adalah pergeseran paradigma: dari taman warga menjadi taman kekuasaan.
Kalau Samber Park tak lagi untuk warga, untuk siapa sesungguhnya taman itu?